Rabu, 01 Juni 2011

Gelembung Strata Menengah

Hanya dalam tujuh tahun, kelas menengah di Indonesia bertambah 50 juta orang, dari 81 juta orang pada 2003 menjadi 131 juta orang pada 2010. Itu menurut Bank Dunia. Adapun perhitungan Bank Pembangunan Asia untuk kurun waktu yang lebih panjang, 10 tahun, hanya ada peningkatan 44 juta orang, yakni dari 54 juta orang pada 1989 menjadi 98 juta orang tahun 1999.

Kedua lembaga di bawah naungan PBB ini menggunakan sumber data yang sama, yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan Badan Pusat Statistik. Metode perhitungannya juga sama, yakni berdasarkan pengeluaran per kapita sehari dalam dollar AS menurut paritas daya beli tahun 2005. Definisi kelas menengah pun sama, yaitu pengeluaran per kapita sehari sebesar 2-20 dollar AS.

Yang cukup mengganggu adalah kalau kita membandingkan angka Bank Pembangunan Asia (ADB) tahun 2009 dan angka Bank Dunia tahun 2010. Kenaikan jumlah kelas menengah sebanyak 33 juta orang dalam setahun adalah pencapaian spektakuler. Kita tak tahu versi mana yang lebih akurat. Namun, keduanya punya pola dan kecenderungan serupa.

Baik kajian ADB maupun Bank Dunia menghasilkan kesimpulan yang sama. Pertama, ada peningkatan jumlah kelas menengah yang cukup signifikan selama periode pascakrisis 1998. Porsi mereka dalam total pengeluaran sangat dominan. Menurut versi Bank Dunia, pangsa pengeluaran kelas menengah naik dari 58,1 persen tahun 2003 menjadi 76,7 persen tahun 2010.

Kenaikan terbesar pada kelompok pengeluaran 2 dollar AS sampai 6 dollar AS. Kalau dipersempit lagi, paling mencolok pada kelompok pengeluaran 4-6 dollar AS. Porsi kelompok ini di dalam pengeluaran total penduduk naik dari 9,6 persen tahun 2003 menjadi 20 persen tahun 2010.

Dalam hal persentase kenaikan jumlah terlihat, kian tinggi kelompok pengeluaran, semakin besar persentase kenaikannya. Sebagai contoh (versi ADB), kenaikan jumlah kelompok menengah-bawah (2-4 dollar AS) naik hampir dua kali lipat dalam 10 tahun. Sementara itu, kelompok menengah-tengah naik hampir tiga kali lipat. Kelompok menengah-atas naik lebih dari lima kali lipat.

Konsekuensi logis dari pola di atas adalah ketimpangan yang kian memburuk. Hal ini dikonfirmasikan oleh angka koefisien gini yang terus naik sejak 2003 hingga 2010, yakni masing-masing 0,32 dan 0,38. Walaupun angka koefisien gini kita masih pada kisaran nol sampai 0,4 (baik), angka itu sudah mendekati batas moderat (0,4-0,5). Harus diingat, koefisien gini kita adalah berdasarkan pengeluaran sehingga cenderung lebih baik ketimbang koefisien gini berdasarkan pendapatan. Tak diragukan, ketimpangan pendapatan di Indonesia lebih parah daripada yang digambarkan oleh koefisien gini berdasarkan pengeluaran. Setidaknya, boleh jadi, kita sudah pada kisaran moderat.

Kita pun tak boleh lekas puas terhadap pelonjakan ini mengingat mayoritas kelas menengah kita masih bercokol di kelompok kelas menengah lapisan terbawah (2-4 dollar AS), yaitu sebesar 30,9 persen (versi ADB) dan 38,5 persen (versi Bank Dunia) dari total penduduk. Bandingkan, misalnya, dengan lapisan 4-6 dollar AS yang hanya 7,5 persen (versi ADB) dan 11,7 persen (versi Bank Dunia) serta lapisan 6-10 dollar AS yang cuma 3,3 persen (versi ADB) dan 5 persen (versi Bank Dunia). Jauh lebih tipis lagi kelompok menengah atas (10-20 dollar AS) yang hanya 1,1 persen (versi ADB) dan 1,3 persen (versi Bank Dunia).

Jika kita bandingkan dengan data komposisi pekerja menurut sektor dan status pekerjaan, hampir bisa dipastikan bahwa mayoritas kelas menengah kita adalah pekerja informal yang tak punya hak-hak normatif pekerja, seperti upah tetap, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan tunjangan pengangguran.

Kita kian tak boleh lekas puas seandainya membandingkan dengan perkembangan kelas menengah negara tetangga. Persentase kita tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand. Juga kalah dari China, Filipina, dan Vietnam.

Satu lagi kelemahan kita, yakni kenyataan bahwa pedesaan sangat lambat menghasilkan kelas menengah baru. Sekitar 83 persen kelas menengah di pedesaan adalah lapisan menengah-bawah. Bandingkan dengan lapisan sama di perkotaan yang hanya 68 persen.

Tentu ada yang belum pas dengan strategi dan kebijakan pembangunan. Sektor pertanian dan pembangunan pedesaan cenderung terabaikan. Industri manufaktur terbata-bata. Dengan demikian, kebanyakan mereka masih harus berkubang dengan kemiskinan.

Padahal, sektor pertanian dan industri manufaktur yang tangguh merupakan mesin paling ampuh untuk menumbuhkan kelas menengah dalam artian yang lebih hakiki. Bukan sekadar berdasarkan klasifikasi pengeluaran semata, sebagaimana yang dikaji oleh ADB dan Bank Dunia.

Sejauh ini kita baru berhasil menggelembungkan strata menengah, semata-mata berdasarkan kelompok pengeluaran. Bukan kelas menengah yang tangguh, yang tak mudah terempas kembali ke jurang kemiskinan karena sedikit gejolak saja, semisal kenaikan harga bahan bakar minyak.

Faisal Basri, Pengamat Ekonomi
Sumber : DAPS-BPS

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar