Selasa, 28 Juni 2011

Sensus Sapi : Alasan BPS Swasembada Daging Sulit

Badan Pusat Statistik (BPS) menilai persoalan swasembada daging sapi di Indonesia sebenarnya bisa diselesaikan dengan menambah frekuensi pasar hewan serta memperbanyak jumlah hewan ternak yang dimiliki peternak lokal.

Hal tersebut disampaikan Kepala BPS, Rusman Heriawan, dalam bincang-bincang dengan wartawan di Jakarta, Selasa, 28 Juni 2011. "Jumlah angka peternak sapi sebenarnya mendekati swasembada, tapi kenapa kita masih impor?" kata dia.

Rusman mengungkapkan, BPS telah menggelar sensus sapi sepanjang Juni 2010 hingga 1 Juni 2011. Sensus ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan Indonesia mencapai swasembada daging pada 2014.

Untuk menggelar sensus ini, BPS mengumpulkan data dengan cakupan wilayah 97,5 persen berdasarkan 7.700 desa di Indonesia.

Hasil sensus menunjukkan, jumlah rumah tangga peternak di Indonesia seluruhnya mencapai 15,24 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,9 juta merupakan peternak sapi, 13,51 juta peternak sapi potong, 529 ribu peternak sapi perah, dan rumah tangga peternak kerbau mencapai 1,2 juta.

Angka tersebut sebetulnya sudah mencukupi bagi Indonesia untuk mencapai swasembada daging. Namun, persoalannya, rumah tangga peternak sapi selama ini hanya memiliki ternak sebanyak 3-4 ekor.

Kondisi berbeda terjadi di luar negeri. Umumnya, peternak di negara lain memiliki hewan ternak dalam jumlah banyak.

"Di luar negeri, hanya satu orang tapi punya banyak sapi. Jadi memudahkan untuk Indonesia mengimpor," kata dia.

Berkaca dari hasil survei tersebut, BPS menilai persoalan swasembada sapi nasional terletak pada distribusi. Salah satunya adalah lokasi pasar hewan yang terbatas. Persoalan lain adalah kepemilikan sapi per orang yang relatif sangat sedikit.

Rusman mengharapkan agar pasar hewan lebih luas, sehingga penjual dan pembeli lebih mudah diakses, sehingga tidak ada distorsi karena rumah tangga ternak yang kecil-kecil.

Impor Berkurang, Peternak Sapi Bergairah

Penghentian ekspor sapi hidup maupun daging sapi dari Australia merupakan langkah terbaik dari pemerintah untuk kembali menggairahkan masyarakat memelihara sapi. Saat ini masayarakat atau khususnya peternak enggan memelihara sapi karena harga jatuh pada titik paling rendah.

Kepala Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, Edi Suhariyanta, menyatakan penyebab utama peternak enggan memelihara sapi adalah jatuhnya harga sapi akibat impor sapi yang dilakukan pemerintah.

"Ketika peternak kembali bergairah memelihara sapi karena harga menguntungkan bagi peternak, maka ketersediaan daging untuk konsumsi masyarakat akan terpenuhi," katanya,

Menurut Edi, kebijakan impor sapi atau daging sapi dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti menjelang Hari Raya Idul Fitri, libur panjang akhir tahun. "Daerah tujuan impor sapi juga harus pada daerah yang jumlah sapinya terbatas seperti Sumatera atau Kalimantan," katanya

Lebih lanjut Edi menyatakan, dengan harga sapi yang jatuh juga berdampak menurunnya permintaan inseminasi buatan sebanyak 30 persen. Hal ini terjadi karena pasokan pakan kepada sapi betina hanya seadanya. "Saat banyak para peternak sapi yang menyembelih sapinya," kata Edi. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pasar.

sumber : vivanews.com

Baca Selengkapnya...

Artikel Terkait



VICON : Persiapan Test Masuk STIS Tahap II 2011

Sekitar 2 minggu yang lalu, tepatnya 16 Juni 2011 ada video conference (VICON) yang membahas persiapan dalam penyelenggaraan test masuk tahap 2 STIS Tahun 2011. Peserta diikuti oleh seluruh BPS Provinsi Banten, dimana STIS sebagai moderator. Dalam acara tersebut hadir pula psikolog dari UI sebagai narasumber dalam menjelaskan teknik test psikotes dan wawancara sebagai test tahap kedua masuk STIS.

Dalam materinya juga, dijelaskan tatacara pengerjaan psikotest, yang terdiri dari beberapa bab, seperti mencocokan gambar motif, logika pernyataan benar salah, menggambar orang, menggambar wartegg dan sebagainya (hampir sama seperti halnya psikotest pada umumnya).Lembar jawabpun menggunakan lembar komputer sehingga tidak boleh kotor, tercoret, robek dan harus menggunakan pinsil 2B. Selain itu juga dijelaskan tugas panitia selaku pengawas ujian, dan tatacaranya yang dilengkapi dengan buku pedoman.

Ujian rencananya dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 20 Juni 2011 di lokasi ujian masing-masing. Untuk Banten sendiri diselenggarakan di Kantor BPS Provinsi Banten, Jl Syeh Nawawi, KP3B Serang, yang diikuti sekitar 39 orang, namun hanya 37 orang yang terdaftar di kantor BPS Provinsi Banten Baca Selengkapnya...

Artikel Terkait



Jumat, 24 Juni 2011

BPS: Sulit Sediakan Lapangan Kerja untuk TKW

Kemungkinan tidak tertampungnya angkatan kerja Indonesia akibat pemberlakukan penghentian sementara (moratorium) tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab saudi diperkirakan bakal menambah jumlah pengangguran di tanah air.

Namun kenaikan angka pengangguran tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang mencapai 120 juta jiwa.

"Kalau 1,5 juta TKI yang ada di Arab Saudi kembali ke Indonesia dan tidak dapat pekerjaan, itu relatif kecil dibandingkan angkatan kerja sebanyak 120 juta jiwa," kata Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan kepada VIVAnews.com di Jakarta, Kamis, 23 Juni 2011.

Menurut Rusman, moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi di satu sisi memang akan menyebabkan siklus perlambatan dalam hal jumlah TKI yang bekerja di negara Timur Tengah tersebut.

Kemungkinan lain adalah TKI sudah bekerja di Arab Saudi akan memperpanjang kontrak karena pasokan TKI yang semakin berkurang. "Tapi secara bertahap, akan berkurang," katanya. "Mereka tidak akan terdesak untuk kembali ke Indonesia."

Kalaupun TKI tersebut tidak mengajukan perpanjangan, BPS yakin majikan mereka di Arab Saudi akan meminta agar kontrak dari pekerja di rumahnya agar kembali diperpanjang.

Dampak lain yang kemungkinan muncul dari pemberlakukan moratorium TKI ini adalah pemerintah akan memperbaiki iklim kondusif yang mendukung tenaga kerja di luar negeri.

Rusman mengatakan, salah satu penyelesaian yang paling ideal untuk mengatasi penumpukan TKI yang batal bekerja di luar negeri adalah dengan menciptakan lapangan kerja.

"Persoalannya, lapangan kerja untuk tenaga kerja wanita (TKW) tidak bisa secara khusus. Tidak mudah mencari substitusi untuk pekerjaan buat para TKW," kata Rusman. "Di Indonesia, selama ini tidak ada pekerjaan khusus untuk perempuan."

Dia menilai, pemerintah seharusnya mencari cara untuk menaikkan ekonomi rumah tangga dari keluarga TKI. Dengan cara tersebut, diharapkan perempuan yang semula berniat menjadi TKW akan berubah pikiran mengingat kebutuhan ekonomi keluarga sudah dapat terpenuhi.

"Struktur atau konten dari pengiriman TKI jangan perempuan tapi tenaga terlatih dari TKI laki-laki," katanya.

Pada bagian lain, Rusman menilai, Hongkong sampai saat ini masih menjadi negara tujuan TKI yang dianggap paling ideal. Di negara yang baru bergabung dengan China ini, seluruh hak pekerja wajib dipenuhi oleh majikan dan semua ketentuan dibuat tertulis serta diketahui kedua pihak.

Negara Tujuan TKI Pengganti Arab


Pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara atau moratorium pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi yang mulai efektif 1 Agustus 2011. Kebijakan itu merupakan sikap pemerintah terhadap pelaksanaan hukuman pancung terhadap Ruyati binti Satubi.

Menurut Reyna Usman, Pelaksana Tugas Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sebelum moratorium diberlakukan untuk Arab Saudi, negara-negara Arab atau Timur Tengah lainnya juga sudah dihentikan pengiriman TKI. "Yakni Siria, Kuwait, dan Yordania," ujar Reyna saat dihubungi VIVAnews.com di Jakarta, Kamis 23 Juni 2011.

Kebijakan moratorium diberlakukan kepada Arab, menurut dia, karena belum adanya pelayanan dan perlindungan terbaik kepada warga negara Indonesia yang bekerja dan hendak bekerja ke negara-negara itu oleh pemerintah setempat.

"Jadi, mesti sudah ada MoU (nota kesepahaman), tapi pemerintah di sana belum bisa menjamin, ya kami moratorium," tutur Reyna.

Untuk itu, Reyna menyarankan, TKI yang berencana bekerja di luar negeri, sebaiknya memilih negara yang tidak terkena kebijakan moratorium seperti di negara Asia. "Hampir semua negara Arab kena moratorium. Jadi, negara lain saja," ujarnya.

Dia menjelaskan, hingga saat ini, Brunei Darussalam, Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Korea masih bisa menjadi negara tujuan TKI yang ideal untuk mencari nafkah. Negara-negara itu menghormati hak asasi dari tenaga kerja bersangkutan.

Bahkan, Reyna mengatakan, Malaysia juga bisa menjadi negara tujuan para TKI yang masih berkeinginan bekerja di luar negeri, karena kebijakan moratorium ke Negara Jiran tersebut akan berakhir Juni 2011.

"Kelihatannya Arab Saudi agak relactant (enggan) menerapkan kebijakan seperti itu," kata dia.

sumber : VIVAnews

Baca Selengkapnya...

Artikel Terkait



Rabu, 22 Juni 2011

Mengukur Indeks kemiskinan (Head Count Index of Poverty).

Indeks Kemiskinan adalah proporsi populasi yang baku hidupnya berada di bawah garis kemiskinan, yang dinyatakan dalam persen. Tujuan yang paling penting dari ukuran kemiskinan adalah untuk memungkinkan dilakukannya perbandingan kemiskinan. Ini dibutuhkan untukkeseluruhan penilaian progres suatu negara/daerah dalam mengentaskan kemiskinan dan/atau mengevaluasi kebijakan atau projek tertentu. Kasus terpenting dalam perbandingan kemiskinan adalah profil kemiskinan yang menunjukkan bagaimana ukuran kemiskinan agregat dapat dibentuk ke dalam ukuran-ukuran kemiskinan untuk sub-sub kelompok populasi seperti menurut wilayah tempat tinggal, lapangan pekerjaan, tingkat pendidikan, atau kelompok etnis. Profil kemiskinan yang baik dapat membantu menunjukkan banyaknya aspek kebijakan pengurangan kemiskinan, seperti prioritaas pengeluaran publik secara sektoral atau regional. Pembandingan kemiskinan juga dapat dibuat dari waktu ke waktu, dalam menilai seluruh kinerja/ penampilan dari sudut pandang si miskin.

Ukuran kemiskinan merupakan suatu pertimbangan yang nyata untuk melihat pelaksanaan pembangunan. Pemberantasan kemiskinan meninggalkan tantangan utama bagi para pengambil keputusan. Lebih jauh, suatu titik pandang integratif yang secara simultan mempertimbangkan isu-isu pembangunan, penggunaan sumber daya dan kualitas lingkungan, serta kesejahteraan rakyat harus diambil jika progres yang berkelanjutan ingin dicapai. Indeks kemiskinan menangkap prevalensi kemiskinan dengan mengukur proporsi penduduk yang konsumsinya (atau ukuran baku hidup yang lebih layak lainnya) berada di bawah garis kemiskinan. Peningkatan di dalam indikator ini mengakibatkan bertambah buruknya situasi kemiskinan dengan semakin membesarnya proporsi penduduk yang jatuh di bawah garis kemiskinan.

Secara umum, indikator ini berkaitan dengan banyak ukuran pembangunan yang lain, misalnya, angka migrasi neto, angka melek huruf, PDB per kapita, dan penduduk di bawah garis kemiskinan di daerah kering. Secara khusus, indeks kemiskinan (Head Count Index) berasosiasi erat dengan Indeks Kesenjangan Kemiskinan (Poverty Gap Index) dan kwadrat Indeks Kesenjangan Kemiskinan yang menangkap secara sukses aspek yang lebih mendetil mengenai situasi kemiskinan. Indeks kemiskinan mengukur seberapa jauh/luas kemiskinan yang terjadi, Indeks kesenjangan kemiskinan mengukur seberapa miskin si miskin tersebut, dan Kwadrat indeks kesenjangan kemiskinan mengukur beratnya kemiskinan dengan memberi bobot lebih pada yang termiskin dari yang miskin.

Suatu ukuran kemiskinan adalah suatu ringkasan statistik tentang kesejahteraan ekonomi dari kaum miskin di masyarakat. Tidak satu pun ukuran tunggal kemiskinan yang diterima secara universal. Untuk menghitung ukuran kemiskinan, beberapa pertanyaan berikut yang berkait
dengan pengidentifikasian dan penentuan si miskin harus ditujukan pertama pada:

i) Bagaimana kita mengukur kesejahteraan ekonomi individu?
ii) Pada level ukuran kesejahteraan yang mana seseorang dikatakan miskin?

Indeks kemiskinan (H) merupakan proporsi penduduk yang kesejahteraan ekonominya (y) kurang dari garis kemiskinan (z). Jika q orang dinyatakan miskin di dalam populasi sebesar n maka H=q/n. Untuk menghitung Indeks kemiskinan, perkiraan kesejahteraan ekonomi individual dan garis kemiskinan diperlukan.

i) Mengukur kesejahteraan individual:
Ada beragam pendekatan untuk mengukur kesejahteraan. Pendekatan tersebut berbeda dalam kepentingan yang tersentuh oleh penilaian individual mengenai kemakmuran/kesejahteraan versus konsep kesejahteraan yang diputuskan sebelumnya oleh pihak lain.

Pembuat harus fokus pada pengukuran konsumsi individual dari sekeranjang belanja barang dan jasa. Sebuah contoh sebelumnya, kesejahteraan ditentukan oleh tingkat masukan (intake) nutrisi, meski orang tidak hidup bergantung pada makanan semata, atau membuat makanan semata-mata sebagai pilihan berdasarkan nutrisi. Berbagai pendekatan dalam prakteknya juga berbeda
menurut seberapa sukarnya untuk mendapatkan jenis data tertentu untuk set tertentu pula.

Salah satu macam cara orang memperbandingkan kemiskinan di negara berkembang adalah memberikan bobot lebih pada hasil yang dicapai,
konsisten dengan perilaku orang miskin di dalam suatu masyarakat tertentu. Ukuran konsumsi yang komprehensif (misalnya, total pengeluaran untuk seluruh barang dan jasa yang dikonsum, termasuk barang-barang yang tak dipasarkan/non-market, seperti konsumsi dari produk pertanian sendiri) telah lama populer daripada penggunaan pendapatan yang berlaku, di dalam literatur pembangunan. Ini berkenaan dengan fakta bahwa pendapatan lebih susah diukur secara akurat. Konsumsi yang berlaku juga memberi indikasi yang lebih baik daripada pendapatan yang berlaku dari tipikal rumah tangga, dalam jangka panjang dan menurut tingkat kesejahteraan ekonomi tertentu; pendapatan bisa sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu, khususnya dalam ekonomi perdesaan.

Beberapa metode berikut ini dapat digunakan untuk mengukur baku hidup (standard of living) individual:

• Konsumsi per ekivalen lelaki dewasa:
Karena rumah tangga berbeda dalam ukuran dan komposisi, suatu perbandingan sederhana dari konsumsi agregat rumah tangga dapat memberikan arah yang salah (misleading) tentang kesejahteraan individual anggota rumah tangga. Oleh karena itu, untuk setiap rumah tangga yang ada, suatu skala yang ekivalen digunakan untuk mendekati banyaknya orang dewasa tunggal, berdasarkan perilaku konsumsi yang diobservasi. Ada sejumlah penentuan (judgement) nilai yang merasuk (embeded) dalam praktek ini; sebagai contoh, perbedaan kebutuhan direfleksikan dalam konsumsi. Perempuan dewasa dan anak-anak ditentukan ekivalen dengan laki-laki kurang dari 1 (satu), karena mereka mengkonsumsi kurang; namun demikian, itu tak berarti bahwa mereka mempunyai kebutuhan yang lebih rendah, tetapi lebih kurang kuat di dalam rumah tangga. Eksistensi ukuran ekonomi dalam konsumsi mungkin juga berarti bahwa 2 orang akan hidup lebih murah secara bersama daripada hidup terpisah.

Kurang nutrisi/gizi:
Ini adalah konsep yang berbeda, meski berkait erat dengan kemiskinan. Kurang gizi dapat dipandang sebagai tipe tertentu dari kemiskinan, disebut kemiskinan energi makanan. Ada banyak argumen untuk menghadapi penggunaan indikator ini sebagai suatu ukuran kemakmuran. Keuntungan praktisnya adalah bahwa ukuran ini tidak perlu disesuaikan dengan tingkat inflasi dan tidak dibatasi oleh ketidakcukupan data harga. Ukuran status gizi anak dapat membantu menangkap aspek kesejahteraan, seperti distribusi dalam rumah tangga yang tidak cukup direfleksikan dalam indikator lain. Namun demikian, nutrisi bukan satu-satunya aspek yang berkenaan dengan kemakmuran/kesejahteraan rakyat, termasuk kaum miskin.

Jadi, perbandingan kemiskinan yang semata-mata berdasarkan pada nutrisi boleh jadi akan terbatas dan memperdaya/memberi arrah yang keliru.

ii) Menentukan garis kemiskinan:
Dalam praktek, ada banyak alternatif pendekatan untuk menentukan garis kemiskinan:

Garis kemiskinan absolut:
Garis kemiskinan absolut adalah sesuatu yang nilai tetap, dalam hal baku hidup, yang digunakan (konsumsi, nutrisi). Ia tetap bagi seluruh domain yang diperbandingkan, maka, suatu garis kemiskinan yang menjamin kesamaan tingkat kesejahteraan ekonomi akan digunakan untuk mengukur dan membandingkan kemiskinan lintas provinsi atau situasi yang berbeda. Garis kemiskinan mungkin masih tetap beragam, namun hanya untuk mengukur perbedaan dalam biaya pada tingkat kesejahteraan tertentu. Garis kemiskinan absolut lebih dikenal dalam literatur negara-negara berkembang.

Pendekatan yang sering dilakukan untuk menentukan garis kemiskinan absolut adalah dengan memperkirakan biaya dari setiap wilayah pada setiap waktu di mana sekeranjang barang dibutuhkan untuk mencapai kebutuhan konsumsi dasar (ini disebut pendekatan kebutuhan dasar/basic needs approach). Komponen kebutuhan dasar yang paling penting adalah suatu usulan tentang besarnya energi makanan yang dimasukkan/supplied, ditambah dengan barang bukan makanan yang esensial. Untuk mengukur energi makanan yang dibutuhkan, perlu dibuat satu asumsi mengenai tingkat aktivitas yang berkaitan dengan energi yang diperlukan untuk memelihara tingkat metabolisme tubuh ketika istirahat. Sekali masukan energi makanan ditentukan, dan biayanya dihitung, sejumlah pengeluaran untuk barang bukan makanan perlu ditambahkan dengan menemukan tingkat jumlah pengeluaran di mana seseorang secara tipikal mencapai komponen makan dalam garis kemiskinan.

Suatu alternatif pengeluaran uang (rendah) untuk barang bukan makanan adalah dengan menggunakan rata-rata pengeluaran untuk barang bukan makanan yang dikeluarkan seseorang yang dapat sekedar mencapai komponen makanan pada garis kemiskinan: ini dapat dibuktikan bahwa ini adalah batas bawah yang beralasan bagi komponen bukan makanan pada garis kemiskinan.

Garis kemiskinan relatif: Ukuran ini mendominasi literatur negara-negara berkembang di mana banyak studi menggunakan garis kemiskinan yang diset/ditentukan, misalnya 50 persen dari rata-rata pendapatan nasional. Bila garis kemiskinan tetap sebagai proporsi terhadap rata-rata nasional, jika seluruh pendapatan meningkat oleh proporsi yang sama; itu berarti ukuran kemiskinan tidak akan berubah. Ini dapat membuat garis kemiskinan menipu (memberi arah yang keliru) untuk beberapa tujuan, seperti untuk penilaian apakah orang miskin kondisinya bertambah baik atau buruk. Perbandingan lintas 36 negara, baik negara maju maupun berkembang, menunjukkan bahwa garis kemiskinan sesungguhnya akan cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, tapi kenaikan tersebut
berlangsung lamban di negara-negara termiskin. Oleh karena itu, konsep kemiskinan absolut, lebih relevan digunakan di negara-negara berpendapatan rendah, sementara itu konsep kemiskinan relatif lebih relevan digunakan untuk negara-negara berpendapatan tinggi.

Dalam praktek, kebanyakan aplikasi di negara berkembang telah menggunakan konsumsi per orang. Ini mungkin terlalu menekankan keluasan cakupan kemiskinan tersebut karena kemiskinan berasosiasi dengan ukuran keluarga yang lebih besar. Tetapi aspek lain dari profil
kemiskinan (seperti penilaian untuk wilayah atau profil kemiskinan sektoral) cenderung lebih kokoh sebagai pilihan ukuran.

Penting dicatat bahwa adanya sejumlah tertentu nilai arbitrer dan nilai yang ditetapkan adalah sesuatu yang tak dapat dihindarkan dalam menentukan kesejahteraan individu dan garis kemiskinan. Oleh karena itu, keseluruhan penilaian situasi kemiskinan harus memperhatikan pada bagaimana pilihan yang dibuat mempengaruhi perbandingan kemiskinan, karena ini semua berimplikasi pada kebijakan. Praktek yang makin bertambah biasanya adalah menghitung kembali ukuran kemiskinan menggunakan beragam garis kemiskinan, dan menguji apakah perbandingan kemiskinan kualitatif kuat untuk dipilih.

Perlu dicatat bahwa ada beberapa masalah perbandingan lintas negara dalam menggunakan data dari survei rumah tangga. Sebagai tambahan, definisi kemiskinan kadang tak ada di suatu negara dan beragam dari satu negara ke negara yang lain. Masalah ini semakin berkurang seiring meningkatnya perbaikan metodologi survei dan menjadi lebih baku, meski masalahnya masih tetap ada.

sumber : indikator pembangunan berkelanjutan
Baca Selengkapnya...

Artikel Terkait



Senin, 20 Juni 2011

Jepang Olah Tinja Manusia Jadi Makanan

Orang-orang yang sudah mencobanya menyebutkan, rasanya seperti daging sapi.

Mitsuyuki Ikeda, ilmuwan asal Okayama Laboratory yakin bahwa banyak protein bagus di dalam kotoran manusia yang bisa dimanfaatkan. Untuk itu, ia mencari cara untuk mengekstraknya, mencampurnya dengan saus steak, dan berhasil membuat kotoran itu menjadi makanan.

Orang mungkin bertanya-tanya apa alasannya melakukan hal itu. Tetapi ternyata, alasan utamanya adalah permintaan dari pemerintah Tokyo sendiri.

Sebagai informasi, Tokyo saat ini kewalahan dengan lumpur selokan bawah tanah, dan satu-satunya cara untuk mengatasinya selain dengan membuang ke laut adalah dengan memakan ‘kotoran-kotoran’ tersebut.

Saat diteliti, Ikeda mendapati bahwa lumpur itu penuh dengan protein karena banyaknya konten bakteria di sana. Setelah dikombinasikan dengan peningkat reaksi dan menempatkannya di mesin ajaib yang disebut ‘exploder’, akhirnya steak buatan berhasil dibuat.

Lumpur kotoran itu mengandung 63 persen protein, 25 persen karbohidrat, 3 persen vitamin yang larut dalam lemak, serta 9 persen mineral. Adapun steak buatan yang dihasilkan pun warnanya juga merah, jadi konsumen tidak akan mengetahui bahwa yang akan ia makan merupakan tinja olahan.

“Dari uji pertama, orang-orang yang sudah mencobanya menyebutkan, rasanya seperti daging sapi,” sebut Ikeda, seperti dikutip dari Digital Trends, 20 Juni 2011.

Menurut Ikeda dan rekan-rekannya, cara ini merupakan solusi sempurna untuk mengurangi jumlah limbah dan emisi dari perut. Namun sayangnya, masih ada kekurangan dari solusi yang ditawarkan Ikeda. Biaya untuk memproduksi ‘Daging’ buatan itu 10 sampai 20 kali lebih mahal dibandingkan dengan harga daging sapi sungguhan.

Daging Sintetis Dari Kotoran, Sehatkah?

Peneliti Jepang menemukan daging sintetis yang berasal dari kotoran manusia. Lantas, apakah temuan itu sehat untuk dikonsumsi manusia?

Menurut para ahli, secara teori temuan itu aman untuk dikonsumsi. Caranya, harus dimasak untuk mematikan penyakit beracun di dalamnya. "Pastikan makanan itu dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi," kata profesor keamanan makanan dari Kansas State University, Douglas Powell, sebagaimana dikutip dari laman livescience.com.

Untuk membuat daging sintetis ini, peneliti Jepang memisahkan protein dari bakteri dalam kotoran. Daging kotoran ini dihasilkan dengan mengekstrak kandungan dasar makanan, seperti karbohidrat, protein, dan lemak dalam kotoran dan mengombinasikan zat-zat itu kembali.

Daging sintetis yang dihasilkan terdiri dri 63 persen protein, 25 persen karbohidrat, tiga persen lemak, dan sembilan persen mineral. Protein dari kedelai ditambahkan dalam proses pembuatan untuk menambah rasa dan warna daging sintetis ini agar tampak lebih merah.

Powell sendiri mengaku tak memahami metode yang digunakan oleh ilmuan Jepang dalam menemukan daging sintetis ini. Tapi dia memperkirakan para ahli Jepang itu memanaskan kotoran terlebih dahulu sebelum mengolahnya.

Powell mengatakan, memakan daging sintetis ini sama halnya memakan tanaman yang dipupuk, sebab nutrisi dalam kotoran itu sama dengan yang terkandung dalam tanaman tersebut.

"Secara teori, tidak ada yang salah dengan daging sintetis ini," kata Powell.

"Ini sangat aman untuk dikonsumsi, tapi saya pastikan ada faktor menjijikkan di sini."

Bagaimana pun, kata Powell, keamanan makanan itu harus diteliti melalui laboratorium. Yang jelas, sebelum dikonsumsi daging sintetis ini harus dimasak terlebih dahulu.

Lantas, bagaimana jika daging sintetis ini tidak dimasak? "Saya tidak akan menyentuhnya," kata Powell.

Mengandung Protein, Karbohidrat, Vitamin dan Mineral

Mitsuyuki Ikeda, ilmuwan asal Okayama Laboratory, melakukan penelitian terhadap kotoran manusia yang banyak mengendap di saluran bawah tanah di Tokyo, Jepang. Ternyata, lumpur kotoran itu mengandung 63 persen protein, 25 persen karbohidrat, 3 persen vitamin yang larut dalam lemak, serta 9 persen mineral.

Pemerintah Tokyo sendiri tengah kewalahan dalam menghadapi banyaknya kotoran-kotoran tersebut. Untuk itu, Ikeda mencari cara lain untuk mengolah kotoran tersebut, daripada harus dibuang ke laut.

Akhirnya Ikeda menemukan cara untuk mengolah kotoran manusia untuk dijadikan sebagai daging sintetis. Dari uji coba yang dilakukan, mereka yang telah mengonsumsi ‘daging’ dari kotoran manusia itu menyebutkan, rasanya seperti daging sapi.

Sayang, saat ini proses pembuatan ‘daging’ itu masih 10 sampai 20 kali lebih mahal dibanding dengan harga daging sapi sungguhan. Akan tetapi harga ini akan turun jika ‘daging’ itu berhasil diproduksi secara massal. Berikut ini video pembuatan makanan dari tinja :



Hihi... adakah yang mau mencicipinya....

sumber : vivanews.com

Baca Selengkapnya...

Artikel Terkait



Jumat, 17 Juni 2011

Analisis Kemiskinan di Provinsi Banten

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang cukup serius yang selalu dibahas dari tahun ke tahun dalam acara seminar. Kemiskinan identik dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar bagi kehidupan seseorang. Beberapa analis kemiskinan menafsirkan kemiskinan berbeda-beda, ada yang berdasarkan minimum besarnya kalor yang dikonsumsi perkapita perhari. Ada yang berdasarkan kondisi perumahan, pekerjaan/penghasilan, harta/benda yang dimiliki atau bentuk fisik yang dimiliki seseorang.

Beberapa minggu yang lalu ada seminar yang bertemakan Analisis Pemetaan Kemiskinan di Indonesia, yang berlangsung di Universitas Tirtayasa, Banten. Salah satu materi yang disampaikan dalam acara tersebut yang cukup menarik adalah Analisis Kemiskinan di Provinsi Banten, yang disampaikan oleh Ripto Hukari, MSi salah satu pakar analis kemiskinan dari Bidang Sosial, BPS Banten. Isi materi membahas tuntas masalah kemiskinan yang ada di Banten.

DEFINISI UMUM KEMISKINAN


Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hak-hak dasar antara lain:
-terpenuhinya kebutuhan pangan,
-kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
-rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan
-hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik

KEMISKINAN ADALAH MASALAH MULTI DIMENSIONAL.
Sulit mengukurnya perlu kesepakatan “pendekatan pengukuran” yg dipakai.



KONSEP KEMISKINAN MAKRO




Konsep yang dipakai BPS dan juga beberapa negara lain adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach)

Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (diukur dari sisi pengeluaran)”

Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan



INDIKATOR KEMISKINAN



Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) 2005


Variabel kemiskinan yang dipakai



JUMLAH RUMAHTANGGA MISKIN 2005 (HASIL PSE)



Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan (SPDKP) 2007



Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS)




Metode Kelayakan RTS pada PPLS



RUMAHTANGGA SASARAN 2008 (HASIL PPLS)



GAMBARAN UMUM KEMISKINAN DI BANTEN

Tingkat kemiskinan di Banten lebih rendah dari nasional dengan tren yang hampir sama. Tingkat kedalaman sebesar 1,04 dan keparahan sebesar 0,28. Tingkat ketimpangan cukup rendah dan variasi pengeluaran di anatara penduduk miskin juga rendah. Perbedaan Tingkat Kemiskinan antar Kabupaten/Kota cukup tinggi. Kemiskinan lebih banyak di wilayah selatan (Pandeglang dan Lebak) lebih bersifat pedesaan. Sumber penghasilan utama penduduk miskin di Banten adalah sektor pertanian. Banyak rumahtangga yang hidup di sekitar garis kemiskinan (hampir miskin), mereka tidak tergolong miskin tetpai sangat rentan terhadap kemiskinan

Indikator Kemiskinan Provinsi Banten Tahun 2010



KARAKTERISTIK PENDUDUK MISKIN



Data-data Perumahan













Data-data Individu



ANALISIS MODEL KEMISKINAN









MODEL REGRESI KEMISKINAN DENGAN PDRB, PENGANGGURAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN




Sekian......semoga bermanfaat

Baca Selengkapnya...

Artikel Terkait