Namun dibalik padatnya lalu lintas, ada cerita menarik dan memprihatikan saat perjalanan arus balik ke Jakarta. Ketika kami singgah di rest area Tol Kanci, kami sekeluarga menyempatkan diri untuk istirahat sejenak. Maklum hanya saya sendiri yang menjadi sopir, dan tidak ada sopir cadangan. Namun ketiga saya masuk mesjid, tiba-tiba sekumpulan ibu-ibu saling berebut sandal saya, sambil berteriak, " Sini Pak, sandal bapak saya jagain...". Tentu saja ini bukan tempat penitipan sandal dan sepatu. Namun benar-benar ibu-ibu tersebut menjagain sandal-sandal orang yang akan menunaikan sholat di masjid. Bahkan ada bapak-bapak yang sempat ngomel, "Udah,ngga usak dijagain, ngga bakal hilang kok", apalagi yang didijagai cuma sandal jepit yang sudah lama.
Sementara bapak-bapak asyik sibuk menjadi tukang parkir mobil, yang memang saat itu mobil begitu padatnya. Ibu-ibunya pun tidak kalah sibuknya menjadi "tukang parkir sandal" dengan menata rapi sandal-sandal orang-orang yang mau ke masjid. Saya menyebut sebagai "tukang parkir" sandal, memang persis seperti tukang parkir biasa. Bedanyanya tidak menggunakan peluit saja. Sandal disusun rapi di depan masjid dimana si pemilik menaruh sandalnya dan dijagain. Dengan bayaran sebesar seribu rupiah per sandal, bagi tukang parkir sandal imbalannya sudah cukup lumayan. Sayapun tidak luput merogoh kantong untuk membayar tukang parkir sandal sebesar duaribu rupiah sebagai imbalan menjaga sandal saya.
Tadinya saya risih, dan mencari-cari celah agar tidak diburu oleh tukang parkir sandal. Namun hampir seluruh sudut di halaman masjid sudah dipenuhi ibu-ibu penjaga sandal. Akhirnya sayapun tidak tega, karena si ibu merayu dan setengah memaksa. Walaupun ada beberapa orang yang cuwek dan tidak memperdulikan, bahkan ada yang tidak membayarnya. Namun dengan melihat ibu-ibu yang kusam dan kumuh, tentu saya tidak sampai hati untuk "tidak memberi" apalagi pasti ibu-ibu tersebut sangat berharap atas pemberian uang dari si pemilik sandal.
Dari cerita tersebut saya sebagai bangsa Indonesia sangat prihatin dan malu, apakah ini model peminta-mita atau benar-benar jasa penjagaan sandal. Hal ini karena memang kok, di situ tidak ada jasa khusus "penitipan sandal dan sepatu" yang biasanya di masjid-masjid dan sukarela. Nah kalau yang ini setelah memaksa. Bahkan dengan pakaian yang lusuh dan wajah yang memelas memberikan kesan "kasihan" daripada "jasanya".
Mudah-mudahan tradisi atau moment seperti ini hanya saat lebaran saja.
--
kunjungan balik ni gan, gan ikut contes artikel atuh di temanhattarajasa.com
BalasHapus