Dalam arahannya Kepala BPS Provinsi membacakan materi Arahan dari Biro Humas BPS RI, yang berjudul
Beberapa Warning Substantif dalam Menginterpretasikan Data/Indikator Statistik Strategis BPS
1. Memaknai Angka Pertumbuhan Ekonomi
Untuk memahami pengertian di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi, terlebih dahulu perlu kita pahami beberapa konsep dasar antara lain, Sumber Daya Tenaga Kerja dan Modal yang disebut sebagai faktor produksi. Faktor produksi ini digunakan untuk mengubah input menjadi output (dengan nilai yang lebih tinggi). Nilai input yang bertambah disebut value added (nilai tambah). Akumulasi nilai tambah dari setiap sektor disebut sebagai Produk Domestik Bruto (PDB).
PDB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha. Pertumbuhan ekonomi adalah perubahan dari angka PDB antarkurun waktu tertentu. PDB atas dasar harga berlaku yaitu nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menurut harga yang berlaku pada tahun observasi untuk melihat struktur ekonomi sektoral.
Dalam menerjemahkan angka pertumbuhan ekonomi perlu kehati-hatian dan kecermatan. Kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi pada suatu kurun waktu tertentu belum tentu langsung terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Itu akan tergantung bagaimana struktur dari PDB itu sendiri atau struktur dari pertumbuhan yang terjadi.
Ambil contoh, walaupun sektor pertanian tumbuh, pada triwulan I 2009 (q to q: triwulan I 2009 dibandingkan triwulan IV 2008) sebesar 19,3 persen yang diperoleh dari siklus panen raya tahunan di awal tahun 2009, tetapi kalau pertumbuhan itu hanya diperoleh dari petani yang memiliki lahan luas, besar kemungkinan angka kemiskinan petani lapisan bawah tidak akan banyak mengalami perubahan. Dalam konteks ini yang perlu dipertanyakan adalah pada dan atau dari lapisan masyarakat yang mana pertumbuhan itu terjadi. Begitu juga pertumbuhan yang digambarkan oleh sektor industri. Jika pertumbuhan itu hanya berasal dari kelompok usaha tertentu yang sangat padat modal, belum tentu akan membawa kemajuan bagi kelompok industri yang lain, apalagi dengan industri kecil dan mikro.
Itu sebabnya mengapa ekonomi terkadang menunjukkan pertumbuhannya, tetapi angka kemiskinan relatif tetap dan angka pengangguran bahkan meningkat. Apa yang dikemukakan ini hanya sekadar contoh kecil betapa dibutuhkannya kehati-hatian kita dalam menerjemahkan suatu angka statistik.
2. Memaknai Angka Inflasi dan Nilai Tukar Petani
Penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia menggunakan Modified Laspeyres (sesuai manual ILO). Penggunaan IHK ini juga sesuai dengan klasifikasi internasional “Classification of Individual Consumption According to Purpose (COICAP)”.
Ada beberapa hal yang perlu terlebih dahulu diketahui terkait perhitungan IHK/inflasi. Pertama, adalah Inflasi Umum yaitu inflasi seluruh barang dan jasa. Dengan menggunakan tahun dasar 2007, yang implementasinya dimulai di bulan Juni 2008, pengumpulan datanya dilakukan di 66 kota, 774 komoditi terdiri dari 694 komoditi inti, 19 komoditi administered, dan 61 komoditi yang harganya relatif bergejolak. Pengamatan/survei dilakukan di 53 pasar tradisional dan di 98 pasar modern. (Catatan: Inflasi Administered Inflation: inflasi barang dan jasa yang perkembangan harganya secara umum dapat diatur pemerintah meliputi 19 komoditi (bensin, tarif listrik, rokok, dsb). Volatile Goods Inflation: inflasi dari komoditi yang perkembangan harganya sangat bergejolak meliputi 55 komoditi (beras, minyak goreng, cabe, daging ayam ras, dsb).
Catatan khusus yang perlu diberikan bahwa angka inflasi nasional yang selalu diumumkan pada setiap awal bulan adalah angka yang mewakili perkembangan harga di 153 pasar tradisional, 98 pasar modern yang tersebar di 66 kota. Yang menjadi persoalan, terkadang karena terjadi kenaikan harga beberapa komoditas dan itu terjadi di sekitar wilayah kita, kita langsung terjebak pada generalisasi bahwa angka inflasi semestinya tinggi, atau kondisi yang sebaliknya.
Apakah inflasi akan langsung berpengaruh kuat pada segmen penduduk lapisan bawah, itu juga akan tergantung kepada jenis komoditas apa saja yang menjadi penyebab dari inflasi tersebut. Jika komoditas yang berkontribusi terhadap inflasi didominasi oleh komoditas yang dikonsumsi oleh lapisan terbesar masyarakat kelas bawah, maka inflasi tidak akan banyak pengaruh pada masyarakat di lapisan atas. Dalam menginterpretasikan pengaruh dari angka inflasi kita perlu mengkaji komoditas apa saja dan dari wilayah mana yang banyak memberi kontribusi terhadap terjadinya inflasi tersebut.
Terkait Nilai Tukar Petani (NTP), ide dasar yang terkandung di balik angka ini adalah untuk menggambarkan seberapa besar perbandingan antara harga yang dapat dinikmati petani karena terkait dengan produk mereka dengan harga dari barang-barang yang mereka beli (bukan produk mereka). Ringkasnya NTP adalah perbandingan antara rata-rata harga yang diterima oleh petani dengan rata-rata harga yang dibeli oleh petani dikalikan dengan 100.
Dengan formula tersebut berarti jika nilai NTP semakin tinggi, secara umum memberi makna bahwa petani lebih teruntungkan. Beberapa komoditas yang dihitung terkait harga yang diterima petani tanaman pangan yaitu padi, palawija, sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman perkebunan rakyat. Harga yang dibayar petani terdiri dari antara lain barang-barang untuk konsumsi rumah tangga (makanan, perumahan, pakaian, serta aneka barang dan jasa), biaya produksi, dan penambahan barang modal (bibit, pupuk, sewa tenaga, upah, dan lainnya).
Pertanyaannya, apakah dengan nilai NTP semakin tinggi, langsung dapat diterjemahkan oleh rekan-rekan pers bahwa kesejahteraan petani meningkat? Ini juga membutuhkan kehati-hatian. Bisa ya, tetapi perlu kehati-hatian.
Jika angka NTP meningkat karena peningkatan harga komoditas yang diterima petani, padahal komoditas itu hanya diproduksi oleh petani tertentu, belum tentu lapisan terbesar petani akan dapat menikmati kenaikan dari indikator NTP tersebut. Perlu diingat bahwa 13 juta rumah tangga tani di Indonesia adalah petani gurem. Dan sebagai catatan bahwa dalam beberapa penelitian ilmiah mengungkapkan bahwa ternyata semakin sejahtera petani yang berlahan luas, semakin terbuka kesempatan mereka untuk melakukan ekspansi lahan yang mengorbankan lahan sempit petani miskin.
3. Memaknai Dinamika Angka Pengangguran
Framework sebagai acuan berpikir untuk menghitung angka ketenagakerjaan di Indonesia adalah Labour Force Framework. Batas bawah umur (Economically Active Population): 15 tahun, walau dalam pendataan 10 tahun. (Brazil: 10 tahun, Swedia: 16 tahun, Mesir: 6 tahun, Canada: 14 dan 15 tahun). Dalam terminologi pengangguran, dikenal beberapa indikator seperti pengangguran terbuka, yaitu penduduk umur 15 tahun ke atas yang masuk ke dalam angkatan kerja dan aktif mencari kerja. Setengah pengangguran yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu, tetapi tidak termasuk yang sementara tidak bekerja. Setengah penganguran terpaksa yaitu yang bekerja kurang dari 35 jam dan masih mencari kerja. Setengah pengangur sukarela yaitu yang bekerja kurang dari 35 jam dan tidak lagi tidak mencari kerja.
Ada beberapa konsep definisi ketenagakerjaan yang patut dikuasai oleh semua pihak antara lain konsep bekerja (seseorang disebut bekerja jika selama seminggu melakukan aktifitas ekonomi dan dilakukan minimal selama satu jam), konsep pengangguran yaitu mereka yang tidak bekerja, tetapi sedang aktif mencari pekerjaan. Ibu rumah tangga yang hanya mengurus kegiatan rutin dalam rumah tangganya tidak termasuk ke dalam kategori sebagai pengangguran. Mereka yang bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan digolongkan sebagai angkatan kerja.
Terkait dengan angka pengangguran terbuka, rekan-rekan pengamat dan juga rekan-rekan dari media cenderung memiliki anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi senantiasa berkorelasi negatif (berlawanan) dengan angka pengangguran. Semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi, maka pasti angka pengangguran akan menurun. Sekali lagi dalam menghubungkan keduanya membutuhkan kehati-hatian terutama terkait dengan pemahaman tentang konsep yang ada di balik suatu angka.
Kita perhatikan angka berikut: tingkat pengangguran terbuka Februari 2009 sebesar 8,14 persen, menurun dibandingkan angka pengangguran terbuka pada bulan Agustus 2008 yang sebesar 8,39 persen. Banyak kemungkinan, tidak hanya satu kemungkinan, yang menjadi determinan dari penurunan angka ini. Selain karena kebijakan pembangunan yang memungkinkan terjadinya kenaikan daya serap tenaga kerja, beberapa determinan yang lebih spesifik dapat berkontribusi seperti penjelasan berikut:
Pertama, adanya ekspansi sektor ekonomi produktif yang memungkinkan lapisan terdidik dapat berpartisipasi dalam dunia kerja yang terbuka tersebut. Pada lapisan masyarakat terdidik ini, penambahan atau penurunan persentase pertumbuhan ekonomi akan, secara umum, sangat berpengaruh terhadap naik turunnya angka penganguran. Di sini akan berlaku hukum elastisitas tenaga kerja di mana satu persen pertumbuhan ekonomi akan menurunkan sekian persen angka pengangguran.
Domain ini sebagai karakteristik dari kelompok pencari kerja terdidik, yang tinggal di lingkungan elite atau menengah kampung-kampung urban. Pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor yang membuka kesempatan kerja baru akan ditangkap oleh kelompok ini untuk bekerja di sektor formal. Dinamika perekonomian sangat berpengaruh terhadap dinamika pasar kerja kelompok tersebut.
Hal ini pun tidak begitu saja dapat diasumsikan secara linier. Jika pertumbuhan ekonomi menghasilkan kesempatan kerja yang kurang diminati dan masih memiliki daya topang ekonomi keluarga yang relatif baik, maka mereka tetap akan berada di kelompok yang menunggu, dan akan tergolong sebagai pengangguran.
Kedua, dinamika kelompok masyarakat kurang terdidik, tinggal di daerah kumuh atau di kantong-kantong kemiskinan perdesaan yang berbudaya tradisional monodoksi (dalam istilah Piere Bourdieu, tokoh post modernism, disebut sebagai kelompok doxa). Kelompok ini tidak akan terpengaruh langsung oleh dinamika pertumbuhan ekonomi makro. Pada saat ekonomi tumbuh atau melamban, pengangguran bisa saja tinggi atau sebaliknya.
Secara tradisional mereka tetap bekerja untuk menyambung hidup, terlepas dari keadaan ekonomi makro membaik atau memburuk. Mereka akan bekerja apa saja, dengan pola-pola kerja tradisional, mulai dari jenis pekerjaan serabutan, buruh tani, pedagang asongan, menjual jasa sebagai tukang semir sepatu, kuli angkut atau bahkan bekerja sebagai pemulung. Mereka ini justru merupakan lapisan terbesar dari total angkatan kerja Indonesia.
Ketiga, keterkaitan antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh proses transformasi budaya pada lapisan menengah di Indonesia. Perubahan pola hubungan emosional dalam rumah tangga (antara suami dan istri) ke arah yang lebih terbuka, terjadinya penurunan fertilitas yang memungkinkan seorang ibu memiliki waktu yang lebih luang, dan semakin renggangnya norma yang restriktif terhadap wanita untuk bekerja, maka melambannya pertumbuhan ekonomi, yang diikuti tekanan perekonomian dalam keluarga justru mendorong kaum perempuan “rumahan” untuk bekerja di luar rumah terutama pada sektor-sektor informal perkotaan. Menurunnya pertumbuhan ekonomi bukan tidak mungkin akan diikuti dengan penurunan sesaat angka pengangguran.
Intinya, dalam menginterpretasikan naik atau turunnya angka pengangguran membutuhkan kehati-hatian yang sangat tinggi.
4. Memahami Angka Kemiskinan
Amartya Sen (1983) memperkenalkan konsep kemiskinan sebagai kapabilitas personal (person,s capabilities) yaitu seseorang yang seharusnya memiliki sumber daya yang memadai untuk mencapai/menjalankan seperangkat fungsinya sebagai manusia dalam hidup dan kehidupannya. Sementara itu, Artkinson dan Bourguinon (1999) bahkan mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakcukupan kekuatan untuk mengakses sumber daya ekonomi.
Di Indonesia, konsep yang digunakan dalam menghitung angka kemiskinan adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Negara-negara yang menggunakan konsep ini, antara lain: Pakistan, Vietnam, dan Bangladesh.
Konsep dan Pengukuran Kemiskinan
Terkait metodologi perhitungan kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), telah banyak dikemukakan di berbagai kesempatan bahwa dalam hal pengukuran angka kemiskinan, metodologi yang diaplikasikan oleh BPS adalah melalui pendekatan konsumsi.
Mereka yang dikategorikan sebagai penduduk miskin adalah mereka yang nilai konsumsinya kurang dari nilai 2100 kkal/per orang/per hari (dasar dari hasil widya karya nasional gizi) plus kebutuhan primer nonmakanan. Batas garis kemiskinan yang dihasilkan selalu disesuaikan dengan perkembangan harga-harga, terutama yang terkait dengan komoditas makanan. Untuk tahun 2009, nilai dari garis kemiskinan itu Rp 200.262 per kapita per bulan (untuk nasional).
Salah satu dalil dari ukuran konsumsi bahwa seluruh komoditas, tanpa membedakan komoditi yang diperoleh dari pembelian, pemberian, dan dari usaha sendiri, sepanjang itu dikonsumsi oleh rumah tangga, akan dinilai dengan uang. Kekuatan dari pendekatan ini terletak pada kecermatannya. Di sisi yang lain terdapat pula keterbatasan terutama kesulitan masyarakat awam untuk memahami konsep konsumsi dari pemberian dan dari usaha sendiri. Besaran pengeluaran seseorang sering diidentikkan dengan besarnya nilai konsumsi yang dibeli.
Pilihan pada ukuran pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi didasari oleh kenyataan bahwa akan berbahaya jika menggunakan ukuran pendapatan. Hal ini terkait dengan kompleksitas jenis dan status pekerjaan sebagai sumber penghasilan dan juga tingkat kejujuran responden. Sangat sulit untuk menggali informasi yang benar berapa pendapatan suatu rumah tangga itu sesungguhnya.
Tiga huruf PPP harus terus melekat dalam pemahaman kita ketika kita akan menggunakan alternatif batas garis kemiskinan yang dilakukan oleh Bank Dunia. Batas garis kemiskinan dalam dolar yang digunakan oleh Bank Dunia bukan dalam pengertian kurs atau exchange rates di masing-masing negara tetapi Purchasing Power Parity (PPP). Artinya, dengan US$ 1 dibelanjakan di Amerika, maka dihitung nilai setaranya dalam rupiah jika barang dan jasa itu diperoleh di Indonesia. Kita lihat konversi berikut yaitu US$ 1 PPP = Rp 3.240,50 dan US$ 2 PPP = Rp 6.481,00/orang/hari. Sangat menyesatkan jika kita katakan bahwa angka US$ Bank Dunia itu setara exchange rates 20 ribu rupiah. Sementara itu kalau dikonversi ke nilai PPP maka ukuran kemiskinan BPS/batas garis kemiskinan BPS ekuivalen US$ 1,55 PPP (ini termasuk angka yang cukup tinggi).
Siapa Penduduk Miskin Indonesia?
Dengan ukuran kemiskinan yang diadopsi secara resmi di Indonesia, seperti halnya juga di India dan China, maka ketika kita berbicara tentang penduduk miskin akan merefleksikan sekumpulan orang yang secara ekonomi tidak berdaya yang sekaligus refleksi dari keterbelakangan (kurang terintegrasi dengan masyarakat di atasnya yang menyebabkan akses mereka terhadap berbagai kesempatan sangat terbatas), mereka berkedudukan rendah (dalam struktur sosial masyarakat, pendidikan rendah, pendapatan rendah, dan keahlian rendah). Mereka dalam posisi yang sangat kekurangan, dan senantiasa kehilangan arah. Ini mirip dengan apa yang disebut oleh Gandhi sebagai the last, the least, the lowest, and the lost. Dalam istilah di daratan China tempo dulu, orang miskin itu ibarat mereka yang berendam di tengah laut dengan air sampai ke dagu. Artinya, sedikit saja ombak menerpa, maka mereka bisa tenggelam.
Apa Saja yang Menjadi Determinan Penurunan Kemiskinan?
BPS telah mengumumkan bahwa antara kurun waktu Maret 2008 ke Maret 2009 telah terjadi penurunan angka kemiskinan yaitu dari 15,42 persen (atau 34,96 juta jiwa) menjadi 14,15 persen (atau sebesar 32 juta jiwa). Pertanyaan yang menarik mengapa angka kemiskinan menurun? Bagimana menerjemahkan angka ini? Ulasan ringkas berikut barangkali dapat membantu kita.
Ada beberapa determinan yang perlu diperhitungkan ketika membaca angka kemiskinan di kurun waktu tersebut yaitu antara lain, pertama, melalui beberapa program pemberdayaan masyarakat: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan proyek padat karya, serta berlanjutnya booming di sektor konstruksi lebih memungkinkan peningkatan aksesibilitas dari kelompok masyarakat bawah. Kedua, berkembangnya sektor konstruksi perkotaan tentu saja berkontribusi cukup besar. Migrasi ulang-alik yang keluar dari tekanan sektor pertanian ke sektor nonpertanian, menjadi buruh bangunan di kota-kota besar semakin tinggi. Kecenderungan ini typical yang terjadi di banyak negara berkembang dimana ketika sektor-sektor urban yang banyak membutuhkan tenaga kerja kasar berkembang maka arus tenaga kerja off farm dari perdesaan akan mengalir ke kota. Pendapatan migran yang ke kota akan meningkat dan pendapatan mereka yang tetap tinggal di desa juga akan lebih aman karena berkurangnya tekanan pada suplai tenaga kerja pertanian.
Ketiga, pengaruh Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan kebijakan di bidang kesehatan telah berkontribusi dalam penurunan kemiskinan. Dengan adanya dana BLT dan BOS serta kesehatan yang gratis untuk masyarakat miskin, akan memungkinkan pola pengeluaran masyarakat miskin lebih berkualitas sebagai kompensasi dari dana segar atau kemudahan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang mereka terima. Peningkatan kualitas konsumsi ini sekaligus akan meningkatkan nilai rupiah dari total pengeluaran rumah tangga.
Keempat, adanya peningkatan upah riil buruh tani di perdesaan selama Januari ke April 2009 yang meningkat sekitar 13,2 persen. Pola yang hampir sama untuk upah buruh bangunan. Peningkatan pendapatan buruh tani akan berpengaruh kuat pada penurunan jumlah penduduk miskin. Seperti kita ketahui bahwa jumlah penduduk miskin di perdesaan hampir dua kali lipat dibandingkan dengan di perkotaan. Mereka umumnya buruh tani atau petani gurem.
Kelima, inflasi di kurun waktu tersebut relatif stabil yang memungkinkan penduduk miskin memiliki kemampuan daya beli yang sedikit meningkat. Ini artinya, bahwa mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan dapat terangkat ke luar dari batas garis kemiskinan.
Keenam, dalam masa yang cukup lama telah berlangsung kampanye pemilu legislatif yang membuka peluang adanya transfer of wealth dari para calon legislatif (caleg) dan pendukungnya ke rumah tangga miskin sebagai bagian dari upaya kampanye mereka. Ini akan berpengaruh terhadap peningkatan pola konsumsi masyarakat. Masih banyak kemungkinan lainnya yang dapat menjadi determinan dari penurunan angka kemiskinan tersebut.
II. Beberapa Sumber Data BPS yang Kaya dengan Informasi Strategis
Di BPS terdapat puluhan jenis survei yang dilakukan setiap tahun, baik yang mengumpulkan data terkait keadaan perekonomian, sosial, dan pembangunan. Begitu juga dengan sensus, ada tiga jenis sensus yang dilakukan oleh BPS: Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, dan Sensus Ekonomi.
Hakekat pembangunan adalah bagaimana rakyat menjadi sejahtera. Kesejahteraan merupakan the end goals dari pembangunan di mana pun. Salus populi suprema lex (kesejahteraan adalah hukum tertinggi). Banyak variabel yang sangat potensial digunakan untuk memonitor perkembangan kesejahteraan rakyat di Indonesia dan itu semua terangkum dalam kegiatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan setiap tahun.
Indikator ketenagakerjaan bukan hanya pengangguran atau setengah pengangguran tetapi banyak indikator lainnya yang dapat digunakan dan variabel-variabel itu banyak disediakan melalui hasil pendataan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang juga dilakukan setiap tahun.
Satu lagi sumber data di BPS yang sampai saat ini masih jarang dimanfaatkan oleh para sahabat-sahabat wartawan yaitu data kewilayahan dari hasil pendataan Potensi Desa (Podes) yang dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Data Podes ini menyediakan informasi terkait ketersediaan infrastruktur, kondisi lingkungan, fasilitas kesehatan, pendidikan, fasilitas ekonomi, tingkat kerawanan sosial, dan banyak informasi lainnya yang menggambarkan keadaan desa dan kelurahan di seluruh Indonesia. Jika kita tertarik untuk mengungkapnya, kita yakin informasi dari Podes banyak yang dapat memberi pencerahan kepada masyarakat luas. Ini hanya beberapa contoh dari sumber data potensial yang dapat memperkaya para jurnalis untuk menelusuri mozaik kehidupan sosial, ekonomi, dan pembangunan masyarakat Indonesia disamping sumber data lainnya.
Satu catatan khusus bahwa di tahun 2010 nanti Indonesia akan melaksanakan Sensus Penduduk 2010 (SP2010) yang datanya akan sangat kaya dan dapat menggambarkan keadaan kependudukan, sosial dan, dalam beberapa hal, ekonomi rumah tangga sampai wilayah terkecil sekalipun. Data itu tidak hanya dinanti oleh banyak pihak di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia yang antusias untuk melihat Indonesia dari hasil sensusnya.
III. Penutup
Paparan ini hanya pengantar yang menggambarkan betapa suatu angka statistik apakah itu angka pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, inflasi dan atau angka-angka statistik lainnya bukanlah sekadar angka dengan informasi satu dimensi melainkan suatu angka yang di baliknya sesungguhnya banyak terkandung makna yang kompleks dan menarik. Apa yang dikemukakan sekadar contoh dari beberapa topik yang di bahas dalam workshop ini.
Untuk memahami data kita terlebih dahulu harus memahami konsep definisinya, metodologi pengumpulan datanya, dan substansi keilmuan yang ada di balik angka-angka tersebut. Sangat merugi andai kita terjebak dan masih terbelenggu dengan sikap-sikap yang cenderung begitu sederhana dan prematur dalam menerjemahkan angka statistik. Apalagi kalau kita menerjemahkan suatu angka melalui persepsi subjektif dari kacamata yang terbatas.
Enrico Giovannini, Direktur Statistik OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development yang berkedudukan di Paris) mengingatkan kita “Sometimes, the fault does not lie with the indicators but in their inappropriate use-because the message provided by them may be misinterpreted by the audience to which they are addressed... “ Tampaknya itulah esensi penting dari diadakannya training atau workshop wartawan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar